“Kau
begitu suka dengan langit biru ya?”
“Ya,
sangat. Langit itu penghubung rindu, penghubung jarak yang membentang, bisa
juga penghubung untaian doa-doa yang terselip.”
Namun
terkadang sejatinya diri kita tidak paham dengan doa yang melangit. Kita hanya
tahu bahwa langit di siang hari yang terik berwarna biru. Lalu terkadang, kita
tidak tahu makna rindu, yang kita tahu hanya hati kita yang galau. Seharusnya
rindu menjadi bagian romantis dari episode hidup yang berjalan. Rindu akan
membawa sejuta senyuman jika berlabuh pada waktu yang tepat. Mungkin beginilah
rindu mengajarkan kita untuk tetap menanti kesetiaan.
Untuk
langit yang kelam, apakah ia penting bagi hidup? Apakah ia indah dipandang?
Bahkan melihatnya saja aku tak mampu. Gelap. Perpisahan sore dengan semburat
oranye membentuk hitam. Kau suka? Kutelisik hatimu yang kian gundah saat itu,
berakhir tak membiru seperti langit hatiku. Seakan langitku sedang berbicara
tentang warna warni yang indah, tak ada kebohongan. Namun di langitmu tampak
kusam, seperti jembatan gantung yang akan roboh beberapa detik kemudian.
Di penghujung sore yang sendu ini ada banyak
tanya yang tak terjawab olehmu. Sesaat aku tak menemui dirimu lagi di sana.
Seolah aku berbincang pada awan kelabu yang membisu. Bahkan aku tak bisa
memproyeksikan hatimu di langitku.
“Kau
marah?”, tanyamu.
“Menurutmu?”,
jawabku dengan suara tegas.
Langit
sepertinya telah berkonspirasi dengan hatiku. Sama-sama kelam. Langit tak
pernah berdusta. Jika ia kelam, maka warna yang dipancarkan juga kelam. Jika ia
biru, maka merona membiru. Saat matahari mulai tenggelam, aku semakin yakin
bahwa langit juga yang akan mempertemukan perpisahan. Aku tahu kau menatapku
penuh iba. Tapi tak perlu kuhiraukan lagi, sebab kau sudah mengkhianati langit
biru dengan sejuta kepolosannya. Jika memang langit yang kau warnai adalah
hitam, maka biarkan saja hitamnya semakin memekat. Aku tak berharap ada sinar
lagi di celah kelamnya. Dengan begitu aku semakin paham bahwa langit juga akan
menyembuhkan hati yang terluka.
“Kau
tahu bagaimana melukis perasaanku di langit?”, tanyaku.
“Hmm...”,
lalu kau diam membisu.
Aku
sudah menduga jawaban ini, bahkan tanpa kutanya sekalipun. Matamu bahkan tak
mampu menatap wajahku. Aku tahu kau merasa bersalah. Namun salahmu sudah
terlalu menancap hatiku, hingga sangat perih. Bahkan aku tak tahu bagaimana
menyembuhkannya. Yang kutahu, satu-satunya yang bisa mengobati luka ini hanya
waktu. Jadi, kubiarkan waktu melalui masa ini. Kuharap kau bisa menjawab
tanyaku dengan kata suatu hari nanti. Saat ini perlahan-lahan matahari kembali
tenggelam, kelam pun kembali muncul di peraduan. Matahari tenggelam seperti
halnya kau tenggelam dalam episode hidupku.
“Ini
adalah pertemuan terakhir, apakah kau ingin mengajakku makan?”, tanyaku.
“Ya,
tentu saja,” jawabmu dengan antusias.
Di
meja makan, rembulan muncul dengan anggunnya. Ini semua seperti mimpi bagiku.
Makan malam terakhir. Meja, kursi, hidangan malam, orang-orang yang lalu lalang
akan menjadi saksi pertemuan ini.
“Kau
tidak memesan omelette?”
“Tidak,
aku vegetarian”.
Aku
tak tahu sejak kapan kau tidak suka telur. Kau pernah bilang bahwa dalam telur
ada protein yang sangat kompleks. Kau benar-benar berubah. Kau bukan yang dulu
lagi. Kesukaanmu terhadap makanan bahkan cepat sekali berlalu, seperti pisah
yang akan kita lalui ini. Cepat. Kupikir kau juga akan cepat sekali melupakanku
sejak malam ini berlalu. Namun jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Aku
akan melupakanmu lebih kilat dari yang kau bayangkan.
Ini
adalah penghujung sore yang kelam. Kau tahu, semburat oranye bahkan tak
terlihat hari ini. Ia kelam, seperti malam yang pekat. Langit sepertinya sedang
menumpahkan rasa yang kudapati hari ini. Harapku tak lagi dapat kujemput. Aku
akan melepaskan semua. Namun satu hal yang tak akan kulepas darimu adalah
kebaikan-kebaikanmu terhadap anak-anak. Hanya itu yang bisa kurekam di
memoriku. Maaf.
“Kau
sudah selesai?”, tanyaku melihat dirimu yang tak semangat memakan salad yang
kau pesan.
“Belum”,
jawabmu sekenanya.
“Maukah
kau kubantu?”
“Tidak
perlu”
Begitu
dingin. Seperti angin yang menerjang di tengah hutan tropis pada malam hari.
Baiklah, aku tak ingin membawa duka sepanjang makan malam ini. Lagi pula ini
adalah pertemuan terakhir, tak akan kudapat lagi makan malam serupa di kemudian
hari. Beberapa saat setelah makan malam usai, aku pun pamit dan berusaha
melenyapkan sejuta harapku. Aku akan melangkah sendiri tanpamu. Meski tak ada
kau di sampingku, langitku akan selalu cerah. Langit adalah teman setia dalam
perjalanan rasa yang kutempuh. Tak peduli apa kata orang, tak peduli apa yang
harus kujawab ketika ibuku bertanya nanti. Kututup mataku seketika, berharap
semua akan baik-baik saja. Tentu saja aku tak ingin ada buliran air mata di
bawah langit yang kian pekat ini.
“Terima
kasih untuk makan malamnya”, kataku dengan senyum.
“Terima
kasih kembali. Kuharap kau akan semakin baik tanpaku”, ucapmu dengan wajah yang
datar.
“Kau
sakit? Wajahmu mengapa tampak pucat?”
“Tolong
jaga dirimu baik-baik, waktuku sudah tak lama lagi. Aku divonis kanker darah”.
“Kau
serius?”
Lalu
kau jawab dengan senyuman. Seketika air mata yang sudah kutahan sejak makan
malam tadi berhamburan keluar. Deras, semakin deras. Bagaikan hujan lebat tanpa
gerimis di awal. Namun janji tetaplah janji. Aku juga tak bisa menjagamu lagi.
Haruskah perpisahan itu diiringi tangis?
“Kuharap
kau tak bersedih. Tolong do’akan aku selalu dalam langit cintamu”
Dan
aku hanya bisa menangis dalam senyum yang terpaksa agar kau tak risau. Hari ini
langitku semakin pekat, tak bercahaya sedikitpun. Mungkin ini adalah sore yang
paling sendu di antara seluruh sore di muka bumi. Mungkin ini adalah sore
terkelam yang kau ciptakan dalam episode cinta kita.
Bogor,
2017.
0 komentar:
Posting Komentar