Kamis, 22 November 2018

Kelam di Penghujung Sore


“Kau begitu suka dengan langit biru ya?”
“Ya, sangat. Langit itu penghubung rindu, penghubung jarak yang membentang, bisa juga penghubung untaian doa-doa yang terselip.”

Namun terkadang sejatinya diri kita tidak paham dengan doa yang melangit. Kita hanya tahu bahwa langit di siang hari yang terik berwarna biru. Lalu terkadang, kita tidak tahu makna rindu, yang kita tahu hanya hati kita yang galau. Seharusnya rindu menjadi bagian romantis dari episode hidup yang berjalan. Rindu akan membawa sejuta senyuman jika berlabuh pada waktu yang tepat. Mungkin beginilah rindu mengajarkan kita untuk tetap menanti kesetiaan.

Untuk langit yang kelam, apakah ia penting bagi hidup? Apakah ia indah dipandang? Bahkan melihatnya saja aku tak mampu. Gelap. Perpisahan sore dengan semburat oranye membentuk hitam. Kau suka? Kutelisik hatimu yang kian gundah saat itu, berakhir tak membiru seperti langit hatiku. Seakan langitku sedang berbicara tentang warna warni yang indah, tak ada kebohongan. Namun di langitmu tampak kusam, seperti jembatan gantung yang akan roboh beberapa detik kemudian.

Di  penghujung sore yang sendu ini ada banyak tanya yang tak terjawab olehmu. Sesaat aku tak menemui dirimu lagi di sana. Seolah aku berbincang pada awan kelabu yang membisu. Bahkan aku tak bisa memproyeksikan hatimu di langitku.
“Kau marah?”, tanyamu.
“Menurutmu?”, jawabku dengan suara tegas.

Langit sepertinya telah berkonspirasi dengan hatiku. Sama-sama kelam. Langit tak pernah berdusta. Jika ia kelam, maka warna yang dipancarkan juga kelam. Jika ia biru, maka merona membiru. Saat matahari mulai tenggelam, aku semakin yakin bahwa langit juga yang akan mempertemukan perpisahan. Aku tahu kau menatapku penuh iba. Tapi tak perlu kuhiraukan lagi, sebab kau sudah mengkhianati langit biru dengan sejuta kepolosannya. Jika memang langit yang kau warnai adalah hitam, maka biarkan saja hitamnya semakin memekat. Aku tak berharap ada sinar lagi di celah kelamnya. Dengan begitu aku semakin paham bahwa langit juga akan menyembuhkan hati yang terluka.
“Kau tahu bagaimana melukis perasaanku di langit?”, tanyaku.
“Hmm...”, lalu kau diam membisu.

Aku sudah menduga jawaban ini, bahkan tanpa kutanya sekalipun. Matamu bahkan tak mampu menatap wajahku. Aku tahu kau merasa bersalah. Namun salahmu sudah terlalu menancap hatiku, hingga sangat perih. Bahkan aku tak tahu bagaimana menyembuhkannya. Yang kutahu, satu-satunya yang bisa mengobati luka ini hanya waktu. Jadi, kubiarkan waktu melalui masa ini. Kuharap kau bisa menjawab tanyaku dengan kata suatu hari nanti. Saat ini perlahan-lahan matahari kembali tenggelam, kelam pun kembali muncul di peraduan. Matahari tenggelam seperti halnya kau tenggelam dalam episode hidupku.

“Ini adalah pertemuan terakhir, apakah kau ingin mengajakku makan?”, tanyaku.
“Ya, tentu saja,” jawabmu dengan antusias.
Di meja makan, rembulan muncul dengan anggunnya. Ini semua seperti mimpi bagiku. Makan malam terakhir. Meja, kursi, hidangan malam, orang-orang yang lalu lalang akan menjadi saksi pertemuan ini.
“Kau tidak memesan omelette?”
“Tidak, aku vegetarian”.

Aku tak tahu sejak kapan kau tidak suka telur. Kau pernah bilang bahwa dalam telur ada protein yang sangat kompleks. Kau benar-benar berubah. Kau bukan yang dulu lagi. Kesukaanmu terhadap makanan bahkan cepat sekali berlalu, seperti pisah yang akan kita lalui ini. Cepat. Kupikir kau juga akan cepat sekali melupakanku sejak malam ini berlalu. Namun jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Aku akan melupakanmu lebih kilat dari yang kau bayangkan.

Ini adalah penghujung sore yang kelam. Kau tahu, semburat oranye bahkan tak terlihat hari ini. Ia kelam, seperti malam yang pekat. Langit sepertinya sedang menumpahkan rasa yang kudapati hari ini. Harapku tak lagi dapat kujemput. Aku akan melepaskan semua. Namun satu hal yang tak akan kulepas darimu adalah kebaikan-kebaikanmu terhadap anak-anak. Hanya itu yang bisa kurekam di memoriku. Maaf.
“Kau sudah selesai?”, tanyaku melihat dirimu yang tak semangat memakan salad yang kau pesan.
“Belum”, jawabmu sekenanya.
“Maukah kau kubantu?”
“Tidak perlu”

Begitu dingin. Seperti angin yang menerjang di tengah hutan tropis pada malam hari. Baiklah, aku tak ingin membawa duka sepanjang makan malam ini. Lagi pula ini adalah pertemuan terakhir, tak akan kudapat lagi makan malam serupa di kemudian hari. Beberapa saat setelah makan malam usai, aku pun pamit dan berusaha melenyapkan sejuta harapku. Aku akan melangkah sendiri tanpamu. Meski tak ada kau di sampingku, langitku akan selalu cerah. Langit adalah teman setia dalam perjalanan rasa yang kutempuh. Tak peduli apa kata orang, tak peduli apa yang harus kujawab ketika ibuku bertanya nanti. Kututup mataku seketika, berharap semua akan baik-baik saja. Tentu saja aku tak ingin ada buliran air mata di bawah langit yang kian pekat ini.

“Terima kasih untuk makan malamnya”, kataku dengan senyum.
“Terima kasih kembali. Kuharap kau akan semakin baik tanpaku”, ucapmu dengan wajah yang datar.
“Kau sakit? Wajahmu mengapa tampak pucat?”
“Tolong jaga dirimu baik-baik, waktuku sudah tak lama lagi. Aku divonis kanker darah”.
“Kau serius?”
Lalu kau jawab dengan senyuman. Seketika air mata yang sudah kutahan sejak makan malam tadi berhamburan keluar. Deras, semakin deras. Bagaikan hujan lebat tanpa gerimis di awal. Namun janji tetaplah janji. Aku juga tak bisa menjagamu lagi. Haruskah perpisahan itu diiringi tangis?
“Kuharap kau tak bersedih. Tolong do’akan aku selalu dalam langit cintamu”

Dan aku hanya bisa menangis dalam senyum yang terpaksa agar kau tak risau. Hari ini langitku semakin pekat, tak bercahaya sedikitpun. Mungkin ini adalah sore yang paling sendu di antara seluruh sore di muka bumi. Mungkin ini adalah sore terkelam yang kau ciptakan dalam episode cinta kita.

Bogor, 2017.



Share:

0 komentar:

Posting Komentar