Gadis
berkerudung biru itu bernama Izza. Izza masih ingat dengan pertemuannya dengan
seorang lelaki yang ia sebut Ksatria Langit. Saat pertama kalinya mereka
bertemu, ia menunduk malu ketika lelaki itu memandangnya sekilas dari kejauhan.
Izza sangat menjaga harga dirinya sebagai seorang gadis, ia tidak mau
berpacaran seperti anak muda zaman sekarang. Tak mengapa dibilang kuno atau
ketinggalan zaman, baginya menjaga kehormatan diri dan keluarganya adalah
prinsip yang harus dijunjung tinggi. Pada pagi itu ia akan dikenalkan dengan
guru mengajinya di sebuah masjid dengan Ksatria Langit yang ia harapkan. Tingkah
mereka layaknya seperti dua orang yang mencari sekeping hatinya yang hilang.
Saat
itu Izza berucap dalam hati, “Jika aku adalah tulang rusukmu, maka Allah akan
menyatukan kita. Namun jika tidak, maka Allah akan memisahkan kita dengan cara
terbaik-Nya”. Izza memandang langit hari itu, begitu indah. Sama halnya dengan
kondisi hatinya. Langit seakan ikut gembira melihat wajah Izza yang ceria. Lalu
pada detik itu juga Izza mulai merenung, menempatkan hatinya pada sebaik-baik
tempat yang nyaman, mengurangi degup jantungnya yang lebih cepat dari biasanya.
Ia berkata lirih “Aku akan menunggumu di batas waktu, Ksatria Langit”.
Di
senja yang indah, Izza berusaha menahan
tangis, namun tak bisa. Ada sesak yang menyelimuti dadanya. Sebab pertemuannya
yang lalu dengan Ksatria Langit harapannya berakhir sampai di sana saja. Tak
akan ada pertemuan selanjutnya. Sebab, lelaki itu sudah pergi selama-lamanya
dari dunia ini. Namun Izza harus rela dengan kepergian si Ksatria. Sebab Allah
lebih mencintainya dan cinta manusia hanya karena-Nya. Izza tak sanggup
mengantarkan kepergian si Ksatria, walaupun ia tahu akan menimbun penyesalan
nantinya. Namun hatinya lebih kuat jika tak melihat momen itu.
Beberapa
hari berlalu, Izza membisu di dalam kamarnya. Izza masih menangisi kepergian
Ksatria Langit-nya. Lama-kelamaan air matanya pun enggan keluar. Izza baru
merasakan kepergian orang yang akan ia sayangi sepenuh hidupnya. Tubuhnya
semakin kurus. Beberapa teman yang datang ke kamarnya hanya bisa menasihati
untuk tetap bersabar.
“Sabar
ya Za, ini sudah takdir Allah”
Dan
biasanya Izza hanya mengangguk pelan untuk mengatakan iya.
“Yang
ikhlas ya Za. Semua akan kembali pada-Nya, tinggal menunggu giliran saja kok”,
kata ibunya suatu hari.
Mendengar
ucapan seperti itu Izza langsung memeluk ibunya sambil menangis. Mungkin sangat
wajar jika manusia menangisi orang yang ia sayangi pergi meninggalkannya. Namun
semestinya tak perlu terlalu sedih berkepanjangan, sebab kita juga akan
mengalami hal yang sama di kemudian hari. Selama ini Izza memang tidak tahu
jika Ksatria Langit-nya itu punya riwayat penyakit yang menahun. Sebab yang ia
tahu lelaki itu adalah sosok yang kuat dan tegar, aktif di berbagai kegiatan
kampus dan sering ke luar kota untuk mengikuti ajang kompetisi ilmiah.
Lalu
pada purnama ke sekian setelah kepergia Ksatria Langit, ada seseorang yang
datang ke rumah Izza. Perawakannya mirip sekali dengan Ksatria Langit, namun
dia tetaplah bukan Ksatria Langitnya Izza. Izza mengerti mengapa ibunya sampai
mencari seseorang yang mirip dengan Ksatria Langit. Sebab Izza tak kunjung reda
kesedihannya. Ibunya berharap Izza akan bahagia jika bertemu dengan lelaki yang
mirip. Lelaki yang baru saja datang itu sebenarnya adalah lelaki yang baik
juga. Ia bekerja sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi, sudah mapan, dan
cerdas. Tapi Izza menolak niat baik lelaki itu. Belum ada yang bisa
menggantikan Ksatria Langit di hatinya. Kemarin malam Izza baru saja bermimpi,
Ksatria Langit menjemputnya dengan pakaian putih. Wajah Izza tersenyum
bercahaya.
Cerpen tragis.
BalasHapusTerus berkarya Mba, seru nih, jarang-jarang blog berisi cerpen :)