Jumat, 17 Agustus 2018

Penantian Izza di Ujung Pilu


Gadis berkerudung biru itu bernama Izza. Izza masih ingat dengan pertemuannya dengan seorang lelaki yang ia sebut Ksatria Langit. Saat pertama kalinya mereka bertemu, ia menunduk malu ketika lelaki itu memandangnya sekilas dari kejauhan. Izza sangat menjaga harga dirinya sebagai seorang gadis, ia tidak mau berpacaran seperti anak muda zaman sekarang. Tak mengapa dibilang kuno atau ketinggalan zaman, baginya menjaga kehormatan diri dan keluarganya adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi. Pada pagi itu ia akan dikenalkan dengan guru mengajinya di sebuah masjid dengan Ksatria Langit yang ia harapkan. Tingkah mereka layaknya seperti dua orang yang mencari sekeping hatinya yang hilang.

Saat itu Izza berucap dalam hati, “Jika aku adalah tulang rusukmu, maka Allah akan menyatukan kita. Namun jika tidak, maka Allah akan memisahkan kita dengan cara terbaik-Nya”. Izza memandang langit hari itu, begitu indah. Sama halnya dengan kondisi hatinya. Langit seakan ikut gembira melihat wajah Izza yang ceria. Lalu pada detik itu juga Izza mulai merenung, menempatkan hatinya pada sebaik-baik tempat yang nyaman, mengurangi degup jantungnya yang lebih cepat dari biasanya. Ia berkata lirih “Aku akan menunggumu di batas waktu, Ksatria Langit”.

Di senja yang indah, Izza berusaha  menahan tangis, namun tak bisa. Ada sesak yang menyelimuti dadanya. Sebab pertemuannya yang lalu dengan Ksatria Langit harapannya berakhir sampai di sana saja. Tak akan ada pertemuan selanjutnya. Sebab, lelaki itu sudah pergi selama-lamanya dari dunia ini. Namun Izza harus rela dengan kepergian si Ksatria. Sebab Allah lebih mencintainya dan cinta manusia hanya karena-Nya. Izza tak sanggup mengantarkan kepergian si Ksatria, walaupun ia tahu akan menimbun penyesalan nantinya. Namun hatinya lebih kuat jika tak melihat momen itu.

Beberapa hari berlalu, Izza membisu di dalam kamarnya. Izza masih menangisi kepergian Ksatria Langit-nya. Lama-kelamaan air matanya pun enggan keluar. Izza baru merasakan kepergian orang yang akan ia sayangi sepenuh hidupnya. Tubuhnya semakin kurus. Beberapa teman yang datang ke kamarnya hanya bisa menasihati untuk tetap bersabar.

“Sabar ya Za, ini sudah takdir Allah”
Dan biasanya Izza hanya mengangguk pelan untuk mengatakan iya.
“Yang ikhlas ya Za. Semua akan kembali pada-Nya, tinggal menunggu giliran saja kok”, kata ibunya suatu hari.

Mendengar ucapan seperti itu Izza langsung memeluk ibunya sambil menangis. Mungkin sangat wajar jika manusia menangisi orang yang ia sayangi pergi meninggalkannya. Namun semestinya tak perlu terlalu sedih berkepanjangan, sebab kita juga akan mengalami hal yang sama di kemudian hari. Selama ini Izza memang tidak tahu jika Ksatria Langit-nya itu punya riwayat penyakit yang menahun. Sebab yang ia tahu lelaki itu adalah sosok yang kuat dan tegar, aktif di berbagai kegiatan kampus dan sering ke luar kota untuk mengikuti ajang kompetisi ilmiah.

Lalu pada purnama ke sekian setelah kepergia Ksatria Langit, ada seseorang yang datang ke rumah Izza. Perawakannya mirip sekali dengan Ksatria Langit, namun dia tetaplah bukan Ksatria Langitnya Izza. Izza mengerti mengapa ibunya sampai mencari seseorang yang mirip dengan Ksatria Langit. Sebab Izza tak kunjung reda kesedihannya. Ibunya berharap Izza akan bahagia jika bertemu dengan lelaki yang mirip. Lelaki yang baru saja datang itu sebenarnya adalah lelaki yang baik juga. Ia bekerja sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi, sudah mapan, dan cerdas. Tapi Izza menolak niat baik lelaki itu. Belum ada yang bisa menggantikan Ksatria Langit di hatinya. Kemarin malam Izza baru saja bermimpi, Ksatria Langit menjemputnya dengan pakaian putih. Wajah Izza tersenyum bercahaya.



Share:

1 komentar:

  1. Cerpen tragis.
    Terus berkarya Mba, seru nih, jarang-jarang blog berisi cerpen :)

    BalasHapus