Pelan-pelan
aku berjalan menyusuri kota di saat sepi. Terbayang kibaran hijabmu wahai gadis
pengeja langit bermata sendu. Meski gerimis menyapu-nyapu rambutku, aku tetap
melewati pekatnya hari yang kian membisu. Malam begitu tampak terang, walau di
tengah gemericik air, tanpa bulan, tanpa gemintang di langit.
Aku
masih takjub pada indahnya paras dan kibaran hijabmu saat pertama kali kita
bertemu, di sebuah gedung dengan ratusan pendekar pena. Hijab yang menunjukkan
ketaatanmu pada Sang Pencipta. Di ruas-ruas hatiku, ingin kurangkai kata
teramat lembut untukmu. Bolehkan aku menyentuh kibaran hijabmu sebagai penerang
hatiku saat hati kian lelah?
Dalam
perjalan pulang, aku menenun kagum pada hijabmu yang memesona. Kau meninggalkan
jejak-jejak dengan pesona kibaran hijab yang kau kenakan. Purnama seakan tak
lagi indah dibanding kau dengan hijab dan diammu yang bermakna.
Langit
dan semilir angin membawaku pada teduhnya wajahmu dengan hijab. Dalam
penantian, aku berharap semoga hijabmu dapat menerangi langit di hatiku. Rindu
akan kuranum di lekuk do’a teruntuk hijabmu, gadis pengeja langit.
0 komentar:
Posting Komentar