Rabu, 20 November 2024

Tak Ada yang Sempurna

Seratus persen? Tidak ada.
Yakinlah bahwa engkau juga tidak bisa mencapai 100%.
Tentang apa hal-hal yang masuk akal, apa yang benar-benar penting dalam hidup ini. Usah hiraukan yang membuatmu kacau. Jangan memilih jika pada akhirnya akan membebanimu.
Kau ingin ia berubah? Mustahil tanpa pertolongan Allah.
Harusnya kau sadar bahwa kau perlu memikirkannya lebih matang. Sekarang, salah siapa?

Perlu kau ketahui, tidak semua hal penting bagi kita, Tinggalkan hal-hal yang tak penting.
Ada beberapa hal yang tidak kita suka, namun kita berlapang hati untuk menerimanya. Namun ada hal-hal prinsip yang tak bisa dikompromikan. 


Kualitas apa yang ingin kau harapkan, wahai pemuda? Siapa yang ingin kau terima seumur hidupmu? Kamu ikhlas jika selamanya ia akan seperti itu?




Share:

Kamis, 22 November 2018

Menuntaskan Kenangan


Air mataku menitikkan rindu sesaat setelah kepergianmu. Kau hilang tanpa sebab yang meragu. Ada kecewa yang menggumpal dalam kegelisahan yang pekat. Bersatu dengan darah yang mengalir dengan hembusan napas. Sesal.

Aku ingin berpaling, tapi meragu. Jalan yang kutemui terlalu basah dan mencekam. Di bilik hatiku, ada sesal tanpa arah. Aku tak akan lagi melihatmu dengan kenangan di balik wajah sendumu. Yang lalu biarlah jadi ingatan mata. Sebab kutahu waktu akan beranjak pergi dengan sendiri. Aku tak kan setia menemanimu dalam balutan rindu. Sesal.

Di liuk temaram hari ini, kubuka lembaran surat yang kau beri. Pamit yang kau sampaikan tak kan kuhirau lagi. Tak ada lagi salam pangeran yang menawan teruntuk seorang putri di tepi jurang. Tak lagi ada pujian sunyi di bawah gemintang yang berkilau. Aku ingin waktu menuntaskan pertemuan ini, melenyapkan sejuta rasa yang pernah tergores. Tunai sudah sebuah pisah. Sesal.



Share:

Kelam di Penghujung Sore


“Kau begitu suka dengan langit biru ya?”
“Ya, sangat. Langit itu penghubung rindu, penghubung jarak yang membentang, bisa juga penghubung untaian doa-doa yang terselip.”

Namun terkadang sejatinya diri kita tidak paham dengan doa yang melangit. Kita hanya tahu bahwa langit di siang hari yang terik berwarna biru. Lalu terkadang, kita tidak tahu makna rindu, yang kita tahu hanya hati kita yang galau. Seharusnya rindu menjadi bagian romantis dari episode hidup yang berjalan. Rindu akan membawa sejuta senyuman jika berlabuh pada waktu yang tepat. Mungkin beginilah rindu mengajarkan kita untuk tetap menanti kesetiaan.

Untuk langit yang kelam, apakah ia penting bagi hidup? Apakah ia indah dipandang? Bahkan melihatnya saja aku tak mampu. Gelap. Perpisahan sore dengan semburat oranye membentuk hitam. Kau suka? Kutelisik hatimu yang kian gundah saat itu, berakhir tak membiru seperti langit hatiku. Seakan langitku sedang berbicara tentang warna warni yang indah, tak ada kebohongan. Namun di langitmu tampak kusam, seperti jembatan gantung yang akan roboh beberapa detik kemudian.

Di  penghujung sore yang sendu ini ada banyak tanya yang tak terjawab olehmu. Sesaat aku tak menemui dirimu lagi di sana. Seolah aku berbincang pada awan kelabu yang membisu. Bahkan aku tak bisa memproyeksikan hatimu di langitku.
“Kau marah?”, tanyamu.
“Menurutmu?”, jawabku dengan suara tegas.

Langit sepertinya telah berkonspirasi dengan hatiku. Sama-sama kelam. Langit tak pernah berdusta. Jika ia kelam, maka warna yang dipancarkan juga kelam. Jika ia biru, maka merona membiru. Saat matahari mulai tenggelam, aku semakin yakin bahwa langit juga yang akan mempertemukan perpisahan. Aku tahu kau menatapku penuh iba. Tapi tak perlu kuhiraukan lagi, sebab kau sudah mengkhianati langit biru dengan sejuta kepolosannya. Jika memang langit yang kau warnai adalah hitam, maka biarkan saja hitamnya semakin memekat. Aku tak berharap ada sinar lagi di celah kelamnya. Dengan begitu aku semakin paham bahwa langit juga akan menyembuhkan hati yang terluka.
“Kau tahu bagaimana melukis perasaanku di langit?”, tanyaku.
“Hmm...”, lalu kau diam membisu.

Aku sudah menduga jawaban ini, bahkan tanpa kutanya sekalipun. Matamu bahkan tak mampu menatap wajahku. Aku tahu kau merasa bersalah. Namun salahmu sudah terlalu menancap hatiku, hingga sangat perih. Bahkan aku tak tahu bagaimana menyembuhkannya. Yang kutahu, satu-satunya yang bisa mengobati luka ini hanya waktu. Jadi, kubiarkan waktu melalui masa ini. Kuharap kau bisa menjawab tanyaku dengan kata suatu hari nanti. Saat ini perlahan-lahan matahari kembali tenggelam, kelam pun kembali muncul di peraduan. Matahari tenggelam seperti halnya kau tenggelam dalam episode hidupku.

“Ini adalah pertemuan terakhir, apakah kau ingin mengajakku makan?”, tanyaku.
“Ya, tentu saja,” jawabmu dengan antusias.
Di meja makan, rembulan muncul dengan anggunnya. Ini semua seperti mimpi bagiku. Makan malam terakhir. Meja, kursi, hidangan malam, orang-orang yang lalu lalang akan menjadi saksi pertemuan ini.
“Kau tidak memesan omelette?”
“Tidak, aku vegetarian”.

Aku tak tahu sejak kapan kau tidak suka telur. Kau pernah bilang bahwa dalam telur ada protein yang sangat kompleks. Kau benar-benar berubah. Kau bukan yang dulu lagi. Kesukaanmu terhadap makanan bahkan cepat sekali berlalu, seperti pisah yang akan kita lalui ini. Cepat. Kupikir kau juga akan cepat sekali melupakanku sejak malam ini berlalu. Namun jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Aku akan melupakanmu lebih kilat dari yang kau bayangkan.

Ini adalah penghujung sore yang kelam. Kau tahu, semburat oranye bahkan tak terlihat hari ini. Ia kelam, seperti malam yang pekat. Langit sepertinya sedang menumpahkan rasa yang kudapati hari ini. Harapku tak lagi dapat kujemput. Aku akan melepaskan semua. Namun satu hal yang tak akan kulepas darimu adalah kebaikan-kebaikanmu terhadap anak-anak. Hanya itu yang bisa kurekam di memoriku. Maaf.
“Kau sudah selesai?”, tanyaku melihat dirimu yang tak semangat memakan salad yang kau pesan.
“Belum”, jawabmu sekenanya.
“Maukah kau kubantu?”
“Tidak perlu”

Begitu dingin. Seperti angin yang menerjang di tengah hutan tropis pada malam hari. Baiklah, aku tak ingin membawa duka sepanjang makan malam ini. Lagi pula ini adalah pertemuan terakhir, tak akan kudapat lagi makan malam serupa di kemudian hari. Beberapa saat setelah makan malam usai, aku pun pamit dan berusaha melenyapkan sejuta harapku. Aku akan melangkah sendiri tanpamu. Meski tak ada kau di sampingku, langitku akan selalu cerah. Langit adalah teman setia dalam perjalanan rasa yang kutempuh. Tak peduli apa kata orang, tak peduli apa yang harus kujawab ketika ibuku bertanya nanti. Kututup mataku seketika, berharap semua akan baik-baik saja. Tentu saja aku tak ingin ada buliran air mata di bawah langit yang kian pekat ini.

“Terima kasih untuk makan malamnya”, kataku dengan senyum.
“Terima kasih kembali. Kuharap kau akan semakin baik tanpaku”, ucapmu dengan wajah yang datar.
“Kau sakit? Wajahmu mengapa tampak pucat?”
“Tolong jaga dirimu baik-baik, waktuku sudah tak lama lagi. Aku divonis kanker darah”.
“Kau serius?”
Lalu kau jawab dengan senyuman. Seketika air mata yang sudah kutahan sejak makan malam tadi berhamburan keluar. Deras, semakin deras. Bagaikan hujan lebat tanpa gerimis di awal. Namun janji tetaplah janji. Aku juga tak bisa menjagamu lagi. Haruskah perpisahan itu diiringi tangis?
“Kuharap kau tak bersedih. Tolong do’akan aku selalu dalam langit cintamu”

Dan aku hanya bisa menangis dalam senyum yang terpaksa agar kau tak risau. Hari ini langitku semakin pekat, tak bercahaya sedikitpun. Mungkin ini adalah sore yang paling sendu di antara seluruh sore di muka bumi. Mungkin ini adalah sore terkelam yang kau ciptakan dalam episode cinta kita.

Bogor, 2017.



Share:

Jumat, 17 Agustus 2018

Penantian Izza di Ujung Pilu


Gadis berkerudung biru itu bernama Izza. Izza masih ingat dengan pertemuannya dengan seorang lelaki yang ia sebut Ksatria Langit. Saat pertama kalinya mereka bertemu, ia menunduk malu ketika lelaki itu memandangnya sekilas dari kejauhan. Izza sangat menjaga harga dirinya sebagai seorang gadis, ia tidak mau berpacaran seperti anak muda zaman sekarang. Tak mengapa dibilang kuno atau ketinggalan zaman, baginya menjaga kehormatan diri dan keluarganya adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi. Pada pagi itu ia akan dikenalkan dengan guru mengajinya di sebuah masjid dengan Ksatria Langit yang ia harapkan. Tingkah mereka layaknya seperti dua orang yang mencari sekeping hatinya yang hilang.

Saat itu Izza berucap dalam hati, “Jika aku adalah tulang rusukmu, maka Allah akan menyatukan kita. Namun jika tidak, maka Allah akan memisahkan kita dengan cara terbaik-Nya”. Izza memandang langit hari itu, begitu indah. Sama halnya dengan kondisi hatinya. Langit seakan ikut gembira melihat wajah Izza yang ceria. Lalu pada detik itu juga Izza mulai merenung, menempatkan hatinya pada sebaik-baik tempat yang nyaman, mengurangi degup jantungnya yang lebih cepat dari biasanya. Ia berkata lirih “Aku akan menunggumu di batas waktu, Ksatria Langit”.

Di senja yang indah, Izza berusaha  menahan tangis, namun tak bisa. Ada sesak yang menyelimuti dadanya. Sebab pertemuannya yang lalu dengan Ksatria Langit harapannya berakhir sampai di sana saja. Tak akan ada pertemuan selanjutnya. Sebab, lelaki itu sudah pergi selama-lamanya dari dunia ini. Namun Izza harus rela dengan kepergian si Ksatria. Sebab Allah lebih mencintainya dan cinta manusia hanya karena-Nya. Izza tak sanggup mengantarkan kepergian si Ksatria, walaupun ia tahu akan menimbun penyesalan nantinya. Namun hatinya lebih kuat jika tak melihat momen itu.

Beberapa hari berlalu, Izza membisu di dalam kamarnya. Izza masih menangisi kepergian Ksatria Langit-nya. Lama-kelamaan air matanya pun enggan keluar. Izza baru merasakan kepergian orang yang akan ia sayangi sepenuh hidupnya. Tubuhnya semakin kurus. Beberapa teman yang datang ke kamarnya hanya bisa menasihati untuk tetap bersabar.

“Sabar ya Za, ini sudah takdir Allah”
Dan biasanya Izza hanya mengangguk pelan untuk mengatakan iya.
“Yang ikhlas ya Za. Semua akan kembali pada-Nya, tinggal menunggu giliran saja kok”, kata ibunya suatu hari.

Mendengar ucapan seperti itu Izza langsung memeluk ibunya sambil menangis. Mungkin sangat wajar jika manusia menangisi orang yang ia sayangi pergi meninggalkannya. Namun semestinya tak perlu terlalu sedih berkepanjangan, sebab kita juga akan mengalami hal yang sama di kemudian hari. Selama ini Izza memang tidak tahu jika Ksatria Langit-nya itu punya riwayat penyakit yang menahun. Sebab yang ia tahu lelaki itu adalah sosok yang kuat dan tegar, aktif di berbagai kegiatan kampus dan sering ke luar kota untuk mengikuti ajang kompetisi ilmiah.

Lalu pada purnama ke sekian setelah kepergia Ksatria Langit, ada seseorang yang datang ke rumah Izza. Perawakannya mirip sekali dengan Ksatria Langit, namun dia tetaplah bukan Ksatria Langitnya Izza. Izza mengerti mengapa ibunya sampai mencari seseorang yang mirip dengan Ksatria Langit. Sebab Izza tak kunjung reda kesedihannya. Ibunya berharap Izza akan bahagia jika bertemu dengan lelaki yang mirip. Lelaki yang baru saja datang itu sebenarnya adalah lelaki yang baik juga. Ia bekerja sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi, sudah mapan, dan cerdas. Tapi Izza menolak niat baik lelaki itu. Belum ada yang bisa menggantikan Ksatria Langit di hatinya. Kemarin malam Izza baru saja bermimpi, Ksatria Langit menjemputnya dengan pakaian putih. Wajah Izza tersenyum bercahaya.



Share:

Sekuntum Akad

Pada waktu yang tepat, tolong bawakan aku segenggam semangat.
Jangan datang terlalu cepat, sebab mungkin aku belum siap.
Jangan pula datang terlalu lama, karena mungkin aku sudah dihambat.

Kumohon agar engkau menyimpan cinta ini dengan rapat,
melantunkan do’a di sepertiga malammu dengan hati yang kuat,
agar Tuhan mengabulkan do’amu yang sudah terikat.

Semoga cinta kita bersatu dalam ikatan akad



Share:

Jejak Tak Berdetak


Lalu hari ini aku diam membatu sejak pagi tadi. Mata memerah, air mata mengucur sederas banjir bandang. Kalimat yang kau sampaikan terus kueja perlahan, memaknai titik dan koma yang saling bertautan, memaknai suara kita yang saling bersahutan. Huruf-huruf yang bersembunyi di balik jeruji hati berlarian dalam rinai hujan pagi ini. Tanpa tahu siapa yang peduli lagi. Dingin mencabik tubuh yang semakin lunglai. Aku meringkuk, mencoba membunuh pilu yang semakin dalam. Aku kehilangan genggaman ketika terjatuh. Detik itu kau pergi, dirimu menjauh, tak ada ucap sekata pun. Lalu suasana ruangan menjadi riuh. Ada tangisan perempuan yang bukan lagi kasih di sudut ruangan.

Jejak tak berdetak
kepiluan semakin membuta
menyesap tiap jiwa yang terhentak
dan aku terlunta


Di tepi kamar aku termangu
menyesap sedih yang semakin menderu
hujan dan tangis meramu sendu


Aku tenggelam dalam bait yang paling biru
kepahitan bersatu dengan rindu
dan dingin semakin membeku
Apakah kau sengaja mencebur luka di langitku?


Pada suatu masa,
ribuan kilometer pernah meniadakan jarak
Di peraduan, keping rindu selalu menjejak
menjelma semu yang menyesak


Esok tak akan ada lagi selongsong tatap
yang selalu mengusikmu
Mungkin ini hanyalah kisah fiksi penuh harap
dari ribuan dongeng tidurmu
lagipula ini tak pantas disebut cinta




Share:

Menanti Sore di Pantai Gesing


Perlahan kau dan aku berjalan menuju Pantai Gesing. Di sepanjang perjalanan ada gerimis yang turun perlahan. Hamparan padi kita lalui menuju Bantul hingga Kulonprogo. Tanaman singkong berdiri tegak dan sedikit membungkuk seperti menyambut tamu yang datang dari negeri seberang. Beberapa kali kulihat langit tersenyum cerah melihat keceriaan kita. Maka biarlah punggung tanganku mencoklat untuk hari ini saja. Sebab, aku tak ingin kehilangan kesempatan emas mengunjungi pantai ini. Waktu akan terus bergulir tanpa henti, dan aku tak akan pernah tahu kapan akan kembali lagi.

Dari jarak tiga puluh meter, kulihat ada beberapa pasang kaki mungil yang berkejaran di sekitar pantai. Harap yang kuranum di bilik do’aku setahun lalu akhirnya sampai pada tanah perbatasan antara Yogyakarta dan Jawa Tengah. Aku datang dari utara Pulau Sumatera hanya ingin melihat keelokan rupanya. Dan aku tak menyesal sedikitpun, sebab pantai ini tak kalah indah dengan pantai di pulau yang banyak sekali turisnya itu. Ada banyak tebing yang menjadi saksi kehadiranku di sini. Ada suara ombak yang sangat merdu di telingaku. Bahkan ada beberapa percakapan khas Jawa yang masih asing di telinga ini.

Tentang aku yang jauh dari Sumatera tidaklah penting, yang terpenting adalah seberapa besar cinta kita pada keindahan Indonesia. Aku berjalan ke bibir pantai, bermain dengan ombak yang menyapaku ramah. Seperti khas warga Jawa yang menyambut kehadiranku di rumahmu.  Lalu kuingat firman Allah tentang indahnya alam, kumaknai dalam-dalam, dan semakin mendalam. Sembari kuingat ayat cinta-Nya yang mempesona, “Fabiayyi alaai rabbikuma tukadzzibaan”. Mataku berbinar melihat keindahan ciptaan-Nya. Matahari pun mulai tenggelam, dan aku masih larut dalam jiwa yang semakin tenang.


Bogor, 18 September 2017




Share: